Laman

Jumat, 13 Maret 2015

“MEMBONGKAR MITOS KEPERAWANAN”

Tidak ada yang salah, ketika Tuhan meletakkan selaput darah yang kemudian dikenal dengan keperawanan itu, kecuali hasrat, keinginan, dan penafsiran manusia yang diskriminasi turun-temurun terhadap perempuan. Karena dominasi laki-laki itulah, pada gilirannya memperbolehkan diri mereka berbuat, menilai, menciptakan citra apapun. Kesucian dan keperawanan dianggap penting bagi perempuan sementara kebebasan dan bahkan kebejatan dipandang sebagai suatu hal yang lumrah bagi laki-laki.
Banyak orang mempercayai konsep keperawanan ini, bahwa Tuhan telah menakdirkan bagi perempuan sebuah selaput dara sebagai alat untuk membuktikan keperawanannya. Karena hal itu merupakan ‘kodrat’ bagi perempuan maka sudah semestinya seorang perempuan menjaga, dan memeliharanya dengan segenap kemampuannya. Beban yang diberikan kepada seorang perempuan, pada awalnya sebenarnya membawa ‘misi suci’ yaitu bagaimana ia memelihara kemaluannya, dan kalau dia mampu menjaganya maka kata Tuhan dia termasuk ‘orang-orang yang beruntung’ (Q.S. al-Muslimun : 05).
Hanya saja kemudian, konsep keperawanan ini mengalami suatu pergeseran wacana dari sifatnya yang suci (tidak hanya bagi perempuan saja tapi juga lelaki) menjadi suatu bentuk konstruksi pengalaman yang melibatkan interpretasi yang didominasi oleh jenis kelamin tertentu untuk menjatuhkan eksistensi perempuan. Pengalaman-pengalaman historis itu kemudian menguat menjadi suatu bentuk keyakinan yang menyamai doktrin agama. Di sinilah kemudian menjadi sangat tipis untuk membedakan mana yang kultural dan mana yang doktrin, mana yang harus dipegang sebagai ajaran yang absolut dan mana yang hanya konstruksi sosial yang bersifat relatif-interpretatif.

Beberapa Kasus Keperawanan
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh hasil penelitian yang dilakukan LSC Pusbih (Lembaga Studi Cinta dan Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora) di Jogjakarta, lepas dari validitas penelitian tersebut, ada fakta yang memperlihatkan sebanyak 97,05 % mahasiswa Jogja hilang kegadisannya saat masih kuliah. Tragisnya, semua responden itu menyatakan bahwa hubungan itu dilakukan secara suka sama suka. Kasus serupa juga menimpa di Jatinangor Jawa Barat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Teddy Hidayat, lebih dari 75 % responden mengaku melakukan hubungan seksual di luar nikah. Sementara itu, dari hasil penelitian sebuah LSM, lebih dari 50 % pria yang sedang berpacaran menghendaki (bahkan memaksa) pasangan wanitanya melakukan “oral seks”. Jika permintaannya ditolak, sang pria biasanya langsung memutus hubungan pacaran mereka. Dari dua kasus ini, dapat kita simpulkan bahwa hubungan seksual di luar nikah menjadi sebuah tren, lumrah dan mudah. Sementara urusan keperawanan dan kesucian tidak lagi menemukan ruang sakral dan terhormat yang mesti ditutup dan dijaga rapat.
Kasus lainnya yang juga menarik adalah apa yang terjadi di Mesir, seperti yang dimuat dalam The Iraqi Medical Journal, artikel yang ditulis oleh Dr. Wasfy Muhammad Ali pada tanggal 21 Pebruari 1972 menceritakan tentang bagaimana berartinya sebuah keperawanan bagi seorang suami di Mesir dengan melibatkan diagnosis seorang dokter. Dan akhirnya diagnosis sang dokter mengatakan bahwa si perempuan tadi sudah tidak perawan lagi. Sehari sesudahnya, perempuan itu dibunuh oleh sepupunya meski dia telah membantah tuduhan itu. Tubuh di korban kemudian diperiksa oleh petugas mayat dan ternyata terlambat untuk membuktikan bahwa diagnosa dokter pertama adalah keliru. Demikianlah, seseorang telah dikorbankan atas nama “keperawanan”.
Apa yang terjadi, dan telah menjadi tradisi turun-temurun dalam masyarakat Mesir itu bahwa pentingnya nilai perawan bagi seorang suami (dan juga keluarganya), telah bergurau dengannya dan ia dapat bergurau denganmu?” Saya menjawab: “Sesungguhnya ayahku telah wafat saat perang Uhud, sedang beliau meninggalkan tujuh anak perempuan kepada kami. Oleh karena itu, aku menikah dengan seorang janda perempuan yang ‘mempuni’, ia dapat mengasuh mereka dan melakukan kewajiban terhadap mereka.” Sabdanya: Engkau benar, Isnya Allah” (H.R. Bukhori Muslim).
Ada banyak lagi hadis-hadis senada yang mirip redaksi di atas dengan penekanan pada anjuran memilih istri yang masih perawan.
Hadis di atas selanjutnya menjadi landasan anjuran mencari istri yang masih perawan. Mengapa perawan? karena dalam penjelasan hadis itu dikatakan bahwa perempuan yang masih perawan hatinya masih polos dan bersih. Sehingga besar kemungkinan tercipta suatu kemesraan yang terjalin di antara keduanya (suami istri). Penjelasan ini merujuk pada kalimat dari hadis tersebut:
تلاعبها وتلاعبك (engkau bisa bergurau dengannya dan ia pun bisa bergurau mesra denganmu). Penafsiran terhadap hadis ini jelas mengasumsikan suatu bentuk idealitas tertentu dari seorang istri yang dibayangkan oleh sang penafsir teks itu terhadap maksud perkataan Nabi, suatu keharmonisan yang mendatangkan baldah wa rahmah. Interpretasi ini jelas mempra-asumsikan sebuah relativitas pengalaman bagi seorang perawan. Baik mengenai hubungan seksualitas, pergaulan dengan laki-laki dan pengalaman ‘percintaan’. Dengan relativitas pengalaman ini suatu kemesraan besar kemungkinan akan diraih. Jadi di sini, sang penafsir mencoba memahami konteks keperawanan tidak hanya dalam dataran fisik (biologis) tapi juga pengalaman non-fisik. (baca: berpacaran, dll.) Kalau asumsi ini kita bawa pada saat sekarang, sulit sekali kita mendapatkan seorang gadis yang benar-benar perawan. Terbukanya sekat-sekat budaya dan terciptanya suatu kondisi yang kondusif dalam pergaulan karena sistem yang membungkus kita sekarang bukan lagi sistem tertutup tapi adalah sistem yang malah memperlebar hubungan baik laki-laki dan perempuan saling intens berdialog, maka mencari seorang perawan dalam konstruksi di atas, seperti pungguk merindukan bulan.
Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa dalam Islam sendiri makna penting keperawanan lebih mengacu pada konteks kesucian diri (karena menjaga kemaluannya), kepolosan hati (karena belum banyak pengalaman hubungan dengan lelaki atau seksualitas) atau juga dalam terma fikih perempuan perawan dianggap orang yang pemalu dan tak bisa mewakili dirinya sendiri sehingga ‘diamnya seorang perempuan perawan adalah jawabannya’ (
سكوتها جوابها ). Atau juga dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jangan mengawinkan seorang perempuan janda sehinggalah diminta persetujuan serta mengadakan perbincangan dan jangan mengawinkan seorang gadis sehinggalah diminta persetujuannya. Para Sahabat bertanya: Bagaimana hendak mengetahui persetujuan seorang gadis. Baginda menjawab: Dia diam” (hadis Bukhari Muslim).
Dengan demikian, terdapat suatu anggapan bahwa perempuan mempunyai suatu konstruksi sosial tersendiri dibanding laki-laki. Bentuk sosial itu sedemikian complicated dan sempit. Sebenarnya konsep keperawanan merujuk tidak hanya bagi perempuan tapi juga laki-laki (seperti dalam Q.S. al-Muslimun: 05), hanya saja konstruksi kultural dan historis itulah yang menyebabkan adanya interpretasi yang dominatif dan akhirnya menyebabkan posisi perempuan menjadi ‘terlemahkan’.

“Mitos Keperawanan”: Kekerasan melalui seksualitas
“disingkirkan” dari komunitasnya karena mencoreng harkat dan martabat keluarga. Oleh karena itu Mitos tentang seksualitas perempuan secara umum cenderung direproduksi dengan menegaskan perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk aturan-aturan yang mendapatkan pengesahan sosial secara luas. Cara seperti ini sesungguhnya merupakan pemaksaan dari suatu realitas bahasa yang dalam bahasa Foucault merupakan, the way in which sex is put into discourse. Siapa yang membicarakan, dari sudut apa, dan untuk kepentingan apa merupakan isu penting yang harus dikaji secara sungguh-sungguh. Jika keperawanan dianggap suatu “ukuran moral” yang setiap perempuan harus menjaga dan memeliharanya, maka “anggapan” tersebut merupakan suatu kejahatan dan “pihak” yang membangun citra tersebut sebagai pelaku kejahatan seandainya asumsi itu kemudian merugikan kaum hawa.

Kesimpulan

Dari berbagai artikulasi di atas, adanya pemitosan terhadap keperawanan merupakan suatu usaha yang dibangun untuk memunculkan streotipe kultural yang mendiskriditkan perempuan pada pojok penindasan yang diakui secara luas baik dengan legitimasi agama, budaya, adat, ataupun kepercayaan-kepercayaan setempat dalam rentang waktu sejarah yang panjang.
Tentu saja, proyeksi ini mempunyai akibat-akibat yang harus dibayar mahal oleh perempuan. Mereka menderita baik secara psikologis, sosiologis ataupun historis. Posisi mereka yang lemah semakin dilemahkan dengan sistem yang sama sekali tidak imbang untuk bersaing. Meski seperti yang dikatakan oleh Foucault bahwa setiap kekuasaan (atau ideologi) pada akhirnya mendapat lawan tanding, tapi untuk saat ini, hal itu tak mungkin terjadi. Akumulasi persoalan yang terlibat baik karena bias-bias dalam budaya dan interpretasi agama, juga politik kepentingan yang cenderung memproduksi kekuasaan dengan sendirinya sehingga nilai dan norma atau berbagai pranata sosial kemudian dimanfaatkan dengan cara pemitosan sifat-sifat negatif terhadap keperawanan akan terus melahirkan kekerasan bagi perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar