Salah satu Atraksi parada Kuda Bima |
Dalam
perspektif masyarakat Bima, tentu kuda merupakan bagian integral dalam
kehidupan masyarakat. Kuda bukan saja dipandang dari sisi pemanfaataannya baik
sebagai hewan piaraan maupun transportasi. Namun kuda merupakan symbol social
dan budaya masyarakat. Dalam falsafah hidup masyarakat Bima, ada empat pilar
penting yang wajib dilakukan dan menjadi pilihan hidup yang melekat sebagai
sebuah kebanggan, yaitu Wei Ma Taho, Uma
Ma Taho, Daha (Pasaka) Ma Taho Dan Jara Mataho.
Wei
Mataho (Istri yang baik), seorang pemuda harus dapat memilih gadis yang baik,
salehah dan dari keturunan yang baik.
Uma Ma Taho, jika seseorang ingin membangun rumah, maka harus memilih kayu yang
baik, kuat dan tahan lama. Daha Ma Taho, dulu, orang Bima harus memiliki
Senjata pusaka Daha), untuk mendapatkannya harus dipilih dari besi-besi pilihan
dan bermutu. Dan Jara Mataho, karena dulu kuda merupakan sarana transportasi
yang mendominasi kehidupan masyarakat, maka mutlak diperlukan kuda tunggangan
yang baik sebagai kendaraan. Layaknya sepeda motor sekarang, dulu jika
suami-istri berpergian jauh, berboncengan menumpang kuda (jara kapa nae–kuda
berpelana besar). Kuda bagi masyarakat Bima tidak hanya sebagai hewan piaraan,
tetapi menyentuh aspek politik, social, budaya dan agama.
Kuda
Bima Dalam Lintasan Sejarah
Pacuan Kuda Tradisional Bima Tahun 1927 |
Sejak
Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di Nusantara. Saat itu, para
pedagang dari berbagai penjuru datang membeli Kuda Bima, kemudian dijual di
negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima
perang. Raja-raja dan panglima
perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit,dalam kitab Negarakertagama
karangan Empu Prapanca, juga selalu memilih Kuda Bima untuk memperkuat armada
kavalerinya. Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering
meminta dikirimi Kuda Bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan
Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh
karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.
Dalam
Nota Penjelasan Perjanjian Politik antara Kerajaan Bima dan Gubernur Sulawesi,
DP Van Braam Morris, tertanggal 20 Desember 1886, tercatat bahwa Kuda Bima
pernah dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Jumlahnya mencapai 1.000 sampai 1.500 ekor
per tahun. Saat itu, harga kuda tertulis 40-50 poundsterling, sedangkan harga
lokal di Bima saat itu 15-25 poundsterling per ekor. Tercatat juga pernah ada seorang pangeran
dari Madura yang memesan beberapa kuda kepada Sultan Abdul Kadim, Sultan Bima
Ke-8 (abad ke-18). Ketika itu, Kesultanan Bima memiliki ranch, tempat pemeliharaan
kuda di Desa Wera, Lambu, Kangga,Mpili, Sangeang Darat, Sangeang Api, dan Poja.
Sedemikian akrabnya orang Bima dengan kuda, sampai kini pun banyak cerita soal
kuda yang berkembang di masyarakat. Kuda Bima bahkan juga sudah dijadikan
simbol pantang menyerah, mau hidup prihatin, dan berjuang demi mencapai tujuan.
Kuda bima juga jinak, tidak mau dikasari, dan akan tunduk jika diperlakukan
secara lembut.
Dalam
catatan sejarah Bima, sebelum Nuruddin Abubakar Ali Syah( Sultan Bima III 1682-1684)dinobatkan
menjadi sultan, diperintahkan ayahnya Sultan Abdul Khair sirajuddin(Sultan Bima
II) untuk mengirim kuda dalam rangka membantu perang Trunojoyo dan Sultan Ageng
Tirtayasa di Banten(1677-1680). Dr.Noordduyn dalam artikelnya “ Makassar And
The Islamization Of Bima” Nuruddin bersama 19 orang pasukannya ditawan Belanda
dan dibawa ke Batavia. Tempat penahanan Nuruddin hingga sekarang dikenal
sebagai salah satu nama kecamatan di Jakarta yaitu Kecamatan Tambora.
Kedudukan Kuda
Dalam Struktur Kerajaan Bima
Kuda Jabatan Pejabat Kesultanan Bima |
Kuda juga mendapatkan tempat “Terhormat” dalam struktur
organisasi dan perangkat kerajaan hingga kesultana Bima. kuda bukan saja
sebagai sarana transportasi, hewan piaraan, dan sarana perang, namun merupakan
symbol kebanggaan/prestise bagi setiap pejabat kerajaan, jika diibaratkan zaman
sekarang, kuda identik dengan “mobil dinas” jabatan.Beberapa jabatan yang
secara tegas menggunakan “ Jara” (Kuda) dalam Majelis Paruga Suba Paripurna
antara lain, Bumi Jara Tolotui, Bumi Jara Mbojo, Bumi Jara Bolo, Bumi Jara
Paroko Mbojo, Jena Jara Mbojo dan Jena Jara Bolo. Jabatan ini tergabung dalam
Bumi Nggeko yang beranggotakan 16 orang Bumi dan Anangguru.Bumi adalah pengawal
Istana, dan pengatur penjagaan bergilir atau Otu. Disamping Jabatan Bumi,ada
juga jabatan Dari, yaitu Dari Jara Mbojo dan Dari Jara Bolo yang menjadi
pengawal Sultan. Dari Jara ini adalah petugas yang mengawasi dan memelihara
kuda-kuda sultan serta perlengkapannya.
Disamping dikenal dalam struktur organisasi
pemerintahan kerajaan dan kesultanan Bima, kuda sebagai bagian dari pasukan
Kavilery kerajaan juga dimanfaatkan dalam seni berkuda yang dikenal dengan Jara
Sara’u, yaitu kuda khusus yang dipersiapkan dalam upacara –upacara dan
penyambutan tamu yang hentakan kakinya seirama dengan tabuhan Tambur dan
Gendang. Demikian pula dengan istilah Jara Wera yang ditunggangi oleh pasukan
yang berpakaian serba putih dari Wera yang siap tempur dengan penuh keikhlasan
di medan perang.
Untuk pengembangbiakan kuda, baik untuk sarana
transportasi maupun kebutuhan eksport dan perang, kerajaan dan kesultanan Bima
menerapkan kebijakan pengembangbiakan dengan menyiapkan areal khusus dengan
sebutan Ruhu. Yaitu areal penggembalaan dan pengembiakan ternak, termasuk kuda.
Ruhu-ruhu tersebut banyak terdapat di Wera, Sape, Lambu dan Donggo. Hingga
sampai sekarang masih ada kepercayaan masyarakat terhadap seekor kuda Sangaji
Mbojo yang bernama Manggila, di sekitar pulau Sangiang.
Kuda Benhur Kian
Tersisih
Benhur Di sudut Kampung Bima |
Di
era 60 an hingga 90 an, eksistensi Benhur cukup berarti bagi masyarakat Bima.
Bisa dikata, Benhur adalah alat transportasi andalan pada masa itu dan bersaing
pula dengan anguktan umum lainnya seperti Bemo Kota. Namun kini memasuki era
tahun 2000 an, keberadaan Benhur makin tersisih dengan menjamurnya Ojek dan
transportasi umum lainnya.Pada tiga dekade itu, seluruh wilayah Bima bisa dikatakan sebagai kampungnya Benhur.
Hampir setiap rumah ditemui Benhur dan Gerobak serta kuda yang diikat di bawah
kolong rumah maupun di halaman rumah warga.
Warga
Bima yang dulu berprofesi sebagai kusir Benhur telah banyak yang menjual Benhur
dan kudanya ke wilayah-wilayah pedalaman di Kabupaten Bima. Mereka adalah saksi
sejarah tersisihnya Benhur sebagai alat transportasi masyarakat Bima tempo
dulu. Benhur sendiri tentu bukanlah alat transportasi tertua di daerah ini,
dulu sebelum Benhur ada alat transportasi yang dinamakan Dokar. Namun dokar pun
tersisih oleh Benhur, dan kini rupanya telah menjadi ketentuan sejarah bahwa
Benhur mulai tersisih. Kusir-kusir yang masih muda terpaksa mengikuti tuntutan
zaman dan beralih profesi sebagai Tukang Ojek.
Keberadaan
Benhur dan Gerobak sebagai sumber mata pencaharian warga di sadia dan di Bima
pada umumnya selama tiga dekade terakhir juga sering menjadi bahan pembicaraan
di jajaran pemerintah daerah baik dari sisi kesehatan maupun dalam upaya
Pemerintah Daerah untuk mewujudkan Daerah Bima yang bersih. Karena kotoran kuda
yang tercecer di jalan raya, di tempat-tempat umum, maupun di lingkungan
pemukiman sangat tidak mendukung upaya kebersihan kota Bima.
Namun pemilik Benhur di daerah ini tidak setuju
kalau Benhur yang makin tersisih ini dihapuskan. Yang lebih arif menurut mereka
adalah melestarikan Benhur untuk keperluan pariwisata, serta mengatur pangkalan
serta jalur-jalur yang semestinya dilewati Benhur. Karena di daerah-daerah lain
seperti di Jogjakarta dan Lombok, Benhur dijadikan alat transportasi bagi
wisatawan dan jalur Benhur ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Kuda Benhur yang
makin tersisih, akankah benar-benar tersisih ? hanya sang waktu dan
peradabanlah yang akan menjawabnya.
Antara
Pelestarian Budaya Dan Judi
Pacuan Kuda Bima Di Garis Start |
Ibarat
gadis cantik, pacuan kuda bagi masyarakat Bima memiliki magnet tersendiri.
Dalam pacuan kuda bercampur baur antara hobi,keberanian, mata pencaharian, seni, ilmu hitam, prestise
dan kebanggaan, dan yang paling trend adalah judi. Kita akui bahwa pacuan kuda
adalah warisan budaya dan tradisi sekaligus olahraga tradisional yang harus
terus dilestarikan baik dalam rangka pelestarian budaya maupun promosi
pariwisata daerah. Tapi disisi lain, pacuan kuda juga identik dengan judi. Dua
kutub ini adalah akar yang sama-sama tumbuh dalam satu wadah di arena pacuan
kuda.
Mencabut
“ Akar” yang bernama judi dalam Pacuan Kuda membutuhkan energy bersama semua
kalangan agar pacuan kuda sebagai icon daerah dalam rangka promosi wisata
daerah. Pacuan kuda tidak dilihat sebagai Budaya dan efek positif geliat
ekonomi pasar yang kompleksitas terjadi di arena tersebut, tetapi yang
terpenting pula sisi lain yang berimplikasi negative dalam prespektif budaya
itu sendiri dan perspektif aqidah agama.
Semoga
ada keikhlasan kolektif, untuk memandang dan menyikapi prosesi judi yang acap
terjadi diarena pacuan kuda, tidak dijadikan tradisi yang terkesan pembiaraan.
Sesungguhnya budaya pacuan kuda yang menjadi icon daerah dapat terus lestari
tanpa ada diikuti hal-hal yang negative menurut budaya dan agama. Semuanya
berpulang pada kesadaran kita semua.
Kuda Bima Kini
Dan Akan Datang
Festival Kuda Bima |
Kini,
Kuda Bima kian terancam kelestariannya.
Keberadaan Kuda Bima sudah terdesak oleh kuda jenis lain, seperti sandalwood
dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang banyak dipelihara dan dikembangkan
sebagai kuda pacu. Data perdagangan
antar pulau pada Tahun 2009 , sedikitnya ada 20 ekor kuda sumba masuk ke Bima
setiap sepuluh hari sekali, sedangkan upaya pelestarian kuda lokal bima belum
terlihat nyata.Kuda
bima bentuk badannya pendek. Tinggi badan kuda bima usia 1 tahun-3 tahun
rata-rata 110 sentimeter-113 cm, kuda usia 4 tahun-8 tahun setinggi 114 cm-117
cm, kuda dewasa (usia 10 tahun ke atas) adalah 119 cm-120 cm. Namun, kuda bima
memiliki daya tahan tubuh yang baik dan langkah cepat. Masuknya kuda sandalwood
ke Bima itu tidak terbendung karena Kabupaten Bima bertetangga dengan Pulau
Sumba sebagai tempat asal kuda sandalwood. Selain transportasi yang mudah,
animo para pejabat dan kalangan berduit di Bima mencari kuda sandalwood sangat
tinggi untuk dilombakan pada pacuan kuda yang menjadi tradisi masyarakat Bima.
Populasi
kuda di NTB tahun 2009 berjumlah 77.847 ekor. Dari jumlah tersebut, 16.873 ekor
berada di Pulau Lombok, sisanya 60.964 ekor di Pulau Sumbawa. Populasi kuda di
NTB masih menduduki 20 persen dari
populasi kuda secara nasional yang berjumlah 398.000 ekor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar