Laman

Minggu, 15 Maret 2015

Kuda Dalam Perspektif Masyarakat Bima





Salah satu Atraksi parada Kuda Bima
Dalam perspektif masyarakat Bima, tentu kuda merupakan bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Kuda bukan saja dipandang dari sisi pemanfaataannya baik sebagai hewan piaraan maupun transportasi. Namun kuda merupakan symbol social dan budaya masyarakat. Dalam falsafah hidup masyarakat Bima, ada empat pilar penting yang wajib dilakukan dan menjadi pilihan hidup yang melekat sebagai sebuah kebanggan,  yaitu Wei Ma Taho, Uma Ma Taho, Daha (Pasaka) Ma Taho Dan Jara Mataho. 

Wei Mataho (Istri yang baik), seorang pemuda harus dapat memilih gadis yang baik, salehah dan  dari keturunan yang baik. Uma Ma Taho, jika seseorang ingin membangun rumah, maka harus memilih kayu yang baik, kuat dan tahan lama. Daha Ma Taho, dulu, orang Bima harus memiliki Senjata pusaka Daha), untuk mendapatkannya harus dipilih dari besi-besi pilihan dan bermutu. Dan Jara Mataho, karena dulu kuda merupakan sarana transportasi yang mendominasi kehidupan masyarakat, maka mutlak diperlukan kuda tunggangan yang baik sebagai kendaraan. Layaknya sepeda motor sekarang, dulu jika suami-istri berpergian jauh, berboncengan menumpang kuda (jara kapa nae–kuda berpelana besar). Kuda bagi masyarakat Bima tidak hanya sebagai hewan piaraan, tetapi menyentuh aspek politik, social, budaya dan agama.
Kuda Bima Dalam Lintasan Sejarah
Pacuan Kuda Tradisional Bima Tahun 1927
Sejak Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di Nusantara. Saat itu, para pedagang dari berbagai penjuru datang membeli Kuda Bima, kemudian dijual di negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima perang.   Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit,dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca, juga selalu memilih Kuda Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi Kuda Bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.
Dalam Nota Penjelasan Perjanjian Politik antara Kerajaan Bima dan Gubernur Sulawesi, DP Van Braam Morris, tertanggal 20 Desember 1886, tercatat bahwa Kuda Bima pernah dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Jumlahnya mencapai 1.000 sampai 1.500 ekor per tahun. Saat itu, harga kuda tertulis 40-50 poundsterling, sedangkan harga lokal di Bima saat itu 15-25 poundsterling per ekor.  Tercatat juga pernah ada seorang pangeran dari Madura yang memesan beberapa kuda kepada Sultan Abdul Kadim, Sultan Bima Ke-8 (abad ke-18). Ketika itu, Kesultanan Bima memiliki ranch, tempat pemeliharaan kuda di Desa Wera, Lambu, Kangga,Mpili, Sangeang Darat, Sangeang Api, dan Poja. Sedemikian akrabnya orang Bima dengan kuda, sampai kini pun banyak cerita soal kuda yang berkembang di masyarakat. Kuda Bima bahkan juga sudah dijadikan simbol pantang menyerah, mau hidup prihatin, dan berjuang demi mencapai tujuan. Kuda bima juga jinak, tidak mau dikasari, dan akan tunduk jika diperlakukan secara lembut.
Dalam catatan sejarah Bima, sebelum Nuruddin Abubakar Ali Syah( Sultan Bima III 1682-1684)dinobatkan menjadi sultan, diperintahkan ayahnya Sultan Abdul Khair sirajuddin(Sultan Bima II) untuk mengirim kuda dalam rangka membantu perang Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten(1677-1680). Dr.Noordduyn dalam artikelnya “ Makassar And The Islamization Of Bima” Nuruddin bersama 19 orang pasukannya ditawan Belanda dan dibawa ke Batavia. Tempat penahanan Nuruddin hingga sekarang dikenal sebagai salah satu nama kecamatan di Jakarta yaitu Kecamatan Tambora.  
Kedudukan Kuda Dalam Struktur Kerajaan Bima
Kuda Jabatan Pejabat Kesultanan Bima
Kuda juga mendapatkan tempat “Terhormat” dalam struktur organisasi dan perangkat kerajaan hingga kesultana Bima. kuda bukan saja sebagai sarana transportasi, hewan piaraan, dan sarana perang, namun merupakan symbol kebanggaan/prestise bagi setiap pejabat kerajaan, jika diibaratkan zaman sekarang, kuda identik dengan “mobil dinas” jabatan.Beberapa jabatan yang secara tegas menggunakan “ Jara” (Kuda) dalam Majelis Paruga Suba Paripurna antara lain, Bumi Jara Tolotui, Bumi Jara Mbojo, Bumi Jara Bolo, Bumi Jara Paroko Mbojo, Jena Jara Mbojo dan Jena Jara Bolo. Jabatan ini tergabung dalam Bumi Nggeko yang beranggotakan 16 orang Bumi dan Anangguru.Bumi adalah pengawal Istana, dan pengatur penjagaan bergilir atau Otu. Disamping Jabatan Bumi,ada juga jabatan Dari, yaitu Dari Jara Mbojo dan Dari Jara Bolo yang menjadi pengawal Sultan. Dari Jara ini adalah petugas yang mengawasi dan memelihara kuda-kuda sultan serta perlengkapannya.
Disamping dikenal dalam struktur organisasi pemerintahan kerajaan dan kesultanan Bima, kuda sebagai bagian dari pasukan Kavilery kerajaan juga dimanfaatkan dalam seni berkuda yang dikenal dengan Jara Sara’u, yaitu kuda khusus yang dipersiapkan dalam upacara –upacara dan penyambutan tamu yang hentakan kakinya seirama dengan tabuhan Tambur dan Gendang. Demikian pula dengan istilah Jara Wera yang ditunggangi oleh pasukan yang berpakaian serba putih dari Wera yang siap tempur dengan penuh keikhlasan di medan perang.  
Untuk pengembangbiakan kuda, baik untuk sarana transportasi maupun kebutuhan eksport dan perang, kerajaan dan kesultanan Bima menerapkan kebijakan pengembangbiakan dengan menyiapkan areal khusus dengan sebutan Ruhu. Yaitu areal penggembalaan dan pengembiakan ternak, termasuk kuda. Ruhu-ruhu tersebut banyak terdapat di Wera, Sape, Lambu dan Donggo. Hingga sampai sekarang masih ada kepercayaan masyarakat terhadap seekor kuda Sangaji Mbojo yang bernama Manggila, di sekitar pulau Sangiang.  
Kuda Benhur Kian Tersisih
Benhur Di sudut Kampung Bima
Di era 60 an hingga 90 an, eksistensi Benhur cukup berarti bagi masyarakat Bima. Bisa dikata, Benhur adalah alat transportasi andalan pada masa itu dan bersaing pula dengan anguktan umum lainnya seperti Bemo Kota. Namun kini memasuki era tahun 2000 an, keberadaan Benhur makin tersisih dengan menjamurnya Ojek dan transportasi umum lainnya.Pada tiga dekade itu, seluruh wilayah Bima  bisa dikatakan sebagai kampungnya Benhur. Hampir setiap rumah ditemui Benhur dan Gerobak serta kuda yang diikat di bawah kolong rumah maupun di halaman rumah warga.
Warga Bima yang dulu berprofesi sebagai kusir Benhur telah banyak yang menjual Benhur dan kudanya ke wilayah-wilayah pedalaman di Kabupaten Bima. Mereka adalah saksi sejarah tersisihnya Benhur sebagai alat transportasi masyarakat Bima tempo dulu. Benhur sendiri tentu bukanlah alat transportasi tertua di daerah ini, dulu sebelum Benhur ada alat transportasi yang dinamakan Dokar. Namun dokar pun tersisih oleh Benhur, dan kini rupanya telah menjadi ketentuan sejarah bahwa Benhur mulai tersisih. Kusir-kusir yang masih muda terpaksa mengikuti tuntutan zaman dan beralih profesi sebagai Tukang Ojek.
Keberadaan Benhur dan Gerobak sebagai sumber mata pencaharian warga di sadia dan di Bima pada umumnya selama tiga dekade terakhir juga sering menjadi bahan pembicaraan di jajaran pemerintah daerah baik dari sisi kesehatan maupun dalam upaya Pemerintah Daerah untuk mewujudkan Daerah Bima yang bersih. Karena kotoran kuda yang tercecer di jalan raya, di tempat-tempat umum, maupun di lingkungan pemukiman sangat tidak mendukung upaya kebersihan kota Bima.
Namun  pemilik Benhur di daerah ini tidak setuju kalau Benhur yang makin tersisih ini dihapuskan. Yang lebih arif menurut mereka adalah melestarikan Benhur untuk keperluan pariwisata, serta mengatur pangkalan serta jalur-jalur yang semestinya dilewati Benhur. Karena di daerah-daerah lain seperti di Jogjakarta dan Lombok, Benhur dijadikan alat transportasi bagi wisatawan dan jalur Benhur ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Kuda Benhur yang makin tersisih, akankah benar-benar tersisih ? hanya sang waktu dan peradabanlah yang akan menjawabnya.
Antara Pelestarian Budaya Dan Judi
Pacuan Kuda Bima Di Garis Start
Ibarat gadis cantik, pacuan kuda bagi masyarakat Bima memiliki magnet tersendiri. Dalam pacuan kuda bercampur baur antara hobi,keberanian,  mata pencaharian, seni, ilmu hitam, prestise dan kebanggaan, dan yang paling trend adalah judi. Kita akui bahwa pacuan kuda adalah warisan budaya dan tradisi sekaligus olahraga tradisional yang harus terus dilestarikan baik dalam rangka pelestarian budaya maupun promosi pariwisata daerah. Tapi disisi lain, pacuan kuda juga identik dengan judi. Dua kutub ini adalah akar yang sama-sama tumbuh dalam satu wadah di arena pacuan kuda.
Mencabut “ Akar” yang bernama judi dalam Pacuan Kuda membutuhkan energy bersama semua kalangan agar pacuan kuda sebagai icon daerah dalam rangka promosi wisata daerah. Pacuan kuda tidak dilihat sebagai Budaya dan efek positif geliat ekonomi pasar yang kompleksitas terjadi di arena tersebut, tetapi yang terpenting pula sisi lain yang berimplikasi negative dalam prespektif budaya itu sendiri dan perspektif aqidah agama.
Semoga ada keikhlasan kolektif, untuk memandang dan menyikapi prosesi judi yang acap terjadi diarena pacuan kuda, tidak dijadikan tradisi yang terkesan pembiaraan. Sesungguhnya budaya pacuan kuda yang menjadi icon daerah dapat terus lestari tanpa ada diikuti hal-hal yang negative menurut budaya dan agama. Semuanya berpulang pada kesadaran kita semua.
Kuda Bima Kini Dan Akan Datang
Festival Kuda Bima
Kini, Kuda Bima  kian terancam kelestariannya. Keberadaan Kuda Bima sudah terdesak oleh kuda jenis lain, seperti sandalwood dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang banyak dipelihara dan dikembangkan sebagai kuda pacu.  Data perdagangan antar pulau pada Tahun 2009 , sedikitnya ada 20 ekor kuda sumba masuk ke Bima setiap sepuluh hari sekali, sedangkan upaya pelestarian kuda lokal bima belum terlihat nyata.Kuda bima bentuk badannya pendek. Tinggi badan kuda bima usia 1 tahun-3 tahun rata-rata 110 sentimeter-113 cm, kuda usia 4 tahun-8 tahun setinggi 114 cm-117 cm, kuda dewasa (usia 10 tahun ke atas) adalah 119 cm-120 cm. Namun, kuda bima memiliki daya tahan tubuh yang baik dan langkah cepat. Masuknya kuda sandalwood ke Bima itu tidak terbendung karena Kabupaten Bima bertetangga dengan Pulau Sumba sebagai tempat asal kuda sandalwood. Selain transportasi yang mudah, animo para pejabat dan kalangan berduit di Bima mencari kuda sandalwood sangat tinggi untuk dilombakan pada pacuan kuda yang menjadi tradisi masyarakat Bima.
Populasi kuda di NTB tahun 2009 berjumlah 77.847 ekor. Dari jumlah tersebut, 16.873 ekor berada di Pulau Lombok, sisanya 60.964 ekor di Pulau Sumbawa. Populasi kuda di NTB  masih menduduki 20 persen dari populasi kuda secara nasional yang berjumlah 398.000 ekor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar